Sudah dua hari ini aku melihat lelaki sedang
duduk didekat sebuah parkiran, dengan sebuah pena yang terikat di lehernya
menggunakan seutas tali. Aku sebagai warga setempat merasa curiga karena malam
hari saja dia muncul.
Malam berikutnya aku melihat lelaki itu lagi, sesekali melihat pena-nya kemudian di kalungkan lagi, sesekali juga melihat-lihat kendaraan yang masih tersdia diparkiran. Dari kejauhan aku mengikuti gerak-geriknya yang mencurigakan itu.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk menghampirinya, untuk menghilangkan kecurigaanku ini. Mungkin lelaki itu sedang mencari seseorang dikampung ini, atau mungkin betul-betul mau mencuri motor yang berada di parkiran, atau mungkin....entahlah?
"Ma'af, boleh saya duduk di sini?" Tanyaku pada lelaki dengan pena yang dikalungkannya itu.
"Silahkan", jawabnya acuh dengan kepala tertunduk ke bawah
"Terima kasih", kataku sambil duduk di samping sebelah kanannya.
Sudah sekitar dua menit kami terdiam, sebenarnya aku berharap lelaki itu yang memulai pembicaraan.
"Barang kali sedang menunggu teman?" Tanyaku memulainya lagi
"Dan kau sendiri,?" Katanya dengan melirikan matanya tajam kepadaku.
"Aaa aku, Aku hanya ingin duduk di sini saja". Jawabku
"Kenapa harus disini dan tidak di tempat lain saja?" Sambil memperbaiki tempat duduknya. "Apa kau ingin mencari teman dan mengajakku ngobrol?" Lanjutnya
"Benar". Jawabku berbohong. Dan lelaki itu diam saja. " kebetulan aku sering melihat saudara duduk sendiri".
"Oowh". Responya, sekarang sambil memainkan pena-nya dengan di putar-putar menggunakan ibu jari dan telunjuknya
"Bagaiana kalau kita sekarang berteman?" Ajakku kepadanya.
"Boleh" jawabnya setelah aku menunggu agak lama.
"Sudah beberapa malam ini akau melihatmu duduk sendiri disini, barangkali ada yang dicari atau dinanti disekitar daerah sini?"
"Pertanyaan yang penuh kecurigaan", jawabnya sinis sambil mencoret coretkan penanya ke tempat duduk tidak jelas.
"Sama skali aku tidak mencurigaimu", agak sedikit tegang dan detak jantung tak karuhan..
"Yaa...yaa, aku tahu. Aku juga tidak menuduh anda begitu, apalagi menuduh anda sebagai intel di kampung ini. Tidak, ku anggap kau sudah menjadi temanku, meskipun baru beberapa saat saja kita kenalannya. Ma'af, aku juga ingin meminta pendapat anda sebagai teman, biasanya teman siap memberikan pertolongan atau saran jika diminta. Bagaimana?"
Sedikit mulai mencair suasananya, nada suaranya sudah seperti agak mengalir. Aku mencoba melihat-lihat pena di tangannya.
"Langsung saja. Apa yang harus akau sarankan kepadamu?"
" Hei, enggak bisa gitu dong, segala persoalan itu harus dirunut dari awal supaya mengerti". Suarana yang agak menasehati
"Ok, kalau itu keinginan anda".
"Hmmm..., begini", terdiam sejenak kayanya ada beban yang sangat berat sedang dialaminya
"Saya mempunyai istri sedang hamil tua, sembilan bulan", ucapnya sambil melihat ke langit yang agak mendung. " anda sudah faham kalau wanita hamil suka mintanya yang gak jelas dan aneh-aneh".
"Ngidam maksudmu?"
"Ya. Dan istriku meminta tidak sama seperti ngidamnya istri-istri yang sedang hamil lainnya. Istriku hanya meminta pena yang ini". Sambil menunjukan jarinya ke pena yang ia bawa. "Sebenarnya istriku sudah memintanya sejak kandungannya berumur tiga bulan. Tapi aku pikir-pikir untuk memberikankan pena ini dan sebisa mungkin aku akan mempertahankan pena ini", Sambungnya lagi sambil mengalungkannya kembali pena tersebut kelehernya.
"Oh, cuma itu. Kenapa tidak dituruti saja kemauan istrimu itu...? Saya kira pena yang sekarang anda bawa tidak akan ada pengaruhnya sama sekali dalam kehidupan anda. Pena hanya alat untuk menulis saja, lagian anda bisa membeli pena yang sama percis di toko, kan masih banyak? Istri dan anak yang berada di dalam kandungan itu lebih penting dari pada pena itu". Nasehatku dan sekaligus memohon agar keinginan istrinya didahulukan dari pada mempertahankan pena yang sebenarnya tidak seberapa..
Malam berikutnya aku melihat lelaki itu lagi, sesekali melihat pena-nya kemudian di kalungkan lagi, sesekali juga melihat-lihat kendaraan yang masih tersdia diparkiran. Dari kejauhan aku mengikuti gerak-geriknya yang mencurigakan itu.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk menghampirinya, untuk menghilangkan kecurigaanku ini. Mungkin lelaki itu sedang mencari seseorang dikampung ini, atau mungkin betul-betul mau mencuri motor yang berada di parkiran, atau mungkin....entahlah?
"Ma'af, boleh saya duduk di sini?" Tanyaku pada lelaki dengan pena yang dikalungkannya itu.
"Silahkan", jawabnya acuh dengan kepala tertunduk ke bawah
"Terima kasih", kataku sambil duduk di samping sebelah kanannya.
Sudah sekitar dua menit kami terdiam, sebenarnya aku berharap lelaki itu yang memulai pembicaraan.
"Barang kali sedang menunggu teman?" Tanyaku memulainya lagi
"Dan kau sendiri,?" Katanya dengan melirikan matanya tajam kepadaku.
"Aaa aku, Aku hanya ingin duduk di sini saja". Jawabku
"Kenapa harus disini dan tidak di tempat lain saja?" Sambil memperbaiki tempat duduknya. "Apa kau ingin mencari teman dan mengajakku ngobrol?" Lanjutnya
"Benar". Jawabku berbohong. Dan lelaki itu diam saja. " kebetulan aku sering melihat saudara duduk sendiri".
"Oowh". Responya, sekarang sambil memainkan pena-nya dengan di putar-putar menggunakan ibu jari dan telunjuknya
"Bagaiana kalau kita sekarang berteman?" Ajakku kepadanya.
"Boleh" jawabnya setelah aku menunggu agak lama.
"Sudah beberapa malam ini akau melihatmu duduk sendiri disini, barangkali ada yang dicari atau dinanti disekitar daerah sini?"
"Pertanyaan yang penuh kecurigaan", jawabnya sinis sambil mencoret coretkan penanya ke tempat duduk tidak jelas.
"Sama skali aku tidak mencurigaimu", agak sedikit tegang dan detak jantung tak karuhan..
"Yaa...yaa, aku tahu. Aku juga tidak menuduh anda begitu, apalagi menuduh anda sebagai intel di kampung ini. Tidak, ku anggap kau sudah menjadi temanku, meskipun baru beberapa saat saja kita kenalannya. Ma'af, aku juga ingin meminta pendapat anda sebagai teman, biasanya teman siap memberikan pertolongan atau saran jika diminta. Bagaimana?"
Sedikit mulai mencair suasananya, nada suaranya sudah seperti agak mengalir. Aku mencoba melihat-lihat pena di tangannya.
"Langsung saja. Apa yang harus akau sarankan kepadamu?"
" Hei, enggak bisa gitu dong, segala persoalan itu harus dirunut dari awal supaya mengerti". Suarana yang agak menasehati
"Ok, kalau itu keinginan anda".
"Hmmm..., begini", terdiam sejenak kayanya ada beban yang sangat berat sedang dialaminya
"Saya mempunyai istri sedang hamil tua, sembilan bulan", ucapnya sambil melihat ke langit yang agak mendung. " anda sudah faham kalau wanita hamil suka mintanya yang gak jelas dan aneh-aneh".
"Ngidam maksudmu?"
"Ya. Dan istriku meminta tidak sama seperti ngidamnya istri-istri yang sedang hamil lainnya. Istriku hanya meminta pena yang ini". Sambil menunjukan jarinya ke pena yang ia bawa. "Sebenarnya istriku sudah memintanya sejak kandungannya berumur tiga bulan. Tapi aku pikir-pikir untuk memberikankan pena ini dan sebisa mungkin aku akan mempertahankan pena ini", Sambungnya lagi sambil mengalungkannya kembali pena tersebut kelehernya.
"Oh, cuma itu. Kenapa tidak dituruti saja kemauan istrimu itu...? Saya kira pena yang sekarang anda bawa tidak akan ada pengaruhnya sama sekali dalam kehidupan anda. Pena hanya alat untuk menulis saja, lagian anda bisa membeli pena yang sama percis di toko, kan masih banyak? Istri dan anak yang berada di dalam kandungan itu lebih penting dari pada pena itu". Nasehatku dan sekaligus memohon agar keinginan istrinya didahulukan dari pada mempertahankan pena yang sebenarnya tidak seberapa..
"Jangan sok tau, ini masalah prinsip dan aku sudah berjanji
tidak akan meminjamkan pena ini kesiapapun, apalagi memberikannya. Anda tau aku
menggunakan pena ini sudah lebih 18 tahun,
sejak SMP, kuliah S1 sampai kini aku gunakan dalam pekerjaanku.
Ini adalah benda yang
menemaniku dalam berjuang selama itu".
" Tetapi semuanya kan demi istri dan anak yang ada di dalam kandungan, kenapa hanya masalah pena anda harus egois terhadap istri? Kenapa....".
"Cukuuup cukup!" Ia memotong ucapanku dengan sedikt membentak. Aku terkejut dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba itu. Lalu lelaki itu berdiri dan beranjak pergi.
Setelah beberapa beberapa meter, kemudian lelaki itu membalikan badanya dan menghadapku.
"Mulai sekaraang, pertemanan kita putus, Ingat itu!" Dengan menundukan kepalanya dan suaranya yang pelan. Kemudian melanjutkan lagi pergi.
Dua malam berikutnya lelaki tersebut terlihat duduk ditempat biasanya, namun kali ini tidak terlihat membawa pena yang dikalungkan dilehernya. Akhirnya mau juga dia memberikan pena-nya itu, pikirku. Karena itu aku berani menghampirinya kembali, meskipun sudah diputuskan pertemanannya. Ia tidak merespon sedikitpun akan kehadiranku. Sementara di samping tempat duduknya terdapat botol minuman keras dan juga gelasnya. Sekilas wajahnya sangat murung
"Anda lihat kalau malam ini aku tidak membawa pena", ucapanya agak gemetar. " Pena itu telah kukuburkan bersama istri dan anakku. Istriku meninggal saat melahirkan dan bayinya menyusul beberapa jam kemudian. Istriku mengalami pendarahan yang hebat saat aku pulang dari sini beberapa malam lalu", dengan sedih dan gemeteran
"Aaahk!" Hanya itu yang keluar dari bibirku. Dan lelaki itupun beranjak pergi entah kemana. Sementara awan hitam gelap tebal menutupi indahnya langit, angin besar mampu menggerak-gerakan pohon besar dan tiang listrik dan hujan lebatpun turun dimalam itu.
" Tetapi semuanya kan demi istri dan anak yang ada di dalam kandungan, kenapa hanya masalah pena anda harus egois terhadap istri? Kenapa....".
"Cukuuup cukup!" Ia memotong ucapanku dengan sedikt membentak. Aku terkejut dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba itu. Lalu lelaki itu berdiri dan beranjak pergi.
Setelah beberapa beberapa meter, kemudian lelaki itu membalikan badanya dan menghadapku.
"Mulai sekaraang, pertemanan kita putus, Ingat itu!" Dengan menundukan kepalanya dan suaranya yang pelan. Kemudian melanjutkan lagi pergi.
Dua malam berikutnya lelaki tersebut terlihat duduk ditempat biasanya, namun kali ini tidak terlihat membawa pena yang dikalungkan dilehernya. Akhirnya mau juga dia memberikan pena-nya itu, pikirku. Karena itu aku berani menghampirinya kembali, meskipun sudah diputuskan pertemanannya. Ia tidak merespon sedikitpun akan kehadiranku. Sementara di samping tempat duduknya terdapat botol minuman keras dan juga gelasnya. Sekilas wajahnya sangat murung
"Anda lihat kalau malam ini aku tidak membawa pena", ucapanya agak gemetar. " Pena itu telah kukuburkan bersama istri dan anakku. Istriku meninggal saat melahirkan dan bayinya menyusul beberapa jam kemudian. Istriku mengalami pendarahan yang hebat saat aku pulang dari sini beberapa malam lalu", dengan sedih dan gemeteran
"Aaahk!" Hanya itu yang keluar dari bibirku. Dan lelaki itupun beranjak pergi entah kemana. Sementara awan hitam gelap tebal menutupi indahnya langit, angin besar mampu menggerak-gerakan pohon besar dan tiang listrik dan hujan lebatpun turun dimalam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar